Senin, 07 Januari 2013

larangan mencukur Larangan Mencukur/Memotong Rambut dan Memotong Kuku Bagi Yang Ingin Berkurban



Larangan Mencukur/Memotong Rambut dan Memotong Kuku Bagi Yang Ingin Berkurban
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya, “Katanya ada hadits yang menjelaskan bahwa siapa yang ingin berqurban atau keluarga yang diniatkan pahala untuk berqurban, maka ia tidak boleh mencukur bulu, rambut kepala dan juga memotong kuku sampai ia berqurban. Apakah larangan ini umum untuk seluruh anggota keluarga (yang diniatkan dalam pahala qurban), baik dewasa atau anak-anak? Ataukah larangan ini berlaku untuk yang sudah dewasa saja, tidak termasuk anak-anak?”
http://indonesian.iloveallaah.com/wp-content/uploads/2012/10/The_Udhiyah_and_its_Ruling2.jpgJawab:
Kami tidak mengetahui lafazh hadits sebagaimana yang penanya sebutkan. Lafazh yang kami tahu sebagaimana shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al Jama’ah kecuali Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya.” [1]
Dalam lafazh lainnya,
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
“Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.” [2]
Maka hadits ini menunjukkan terlarangnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban setelah memasuki 10 hari awal bulan Dzulhijah (mulai dari tanggal 1 Dzulhijah, pen).
Hadits pertama menunjukkan perintah untuk tidak memotong (rambut dan kuku). Asal perintah di sini menunjukkan wajibnya hal ini. Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang wajib ini. Sedangkan riwayat kedua adalah larangan memotong (rambut dan kuku). Asal larangan di sini menunjukkan terlarangnya hal ini, yaitu terlarang memotong (rambut dan kuku). Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang melarang hal ini.
Secara jelas pula, hadits ini khusus bagi orang yang ingin berqurban. Adapun anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala qurban, baik sudah dewasa atau belum, maka mereka tidak terlarang memotong bulu, rambut dan kuku. Meraka (selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana hukum asal yaitu boleh memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari hukum asal ini.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.
[Diambil dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal lIfta’, soal ketiga dari Fatwa no. 1407, 11/426-427, Darul Ifta’]
Penjelasan Larangan Memotong Rambut dan Kuku [3]
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang akan memasuki 10 hari awal Dzulhijah dan berniat untuk berqurban.
[Pendapat Pertama]
Sa’id bin Al Musayyib, Robi’ah, Imam Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian murid-murid Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa larangan memotong rambut dan kuku (bagi shohibul qurban) dihukumi haram sampai diadakan penyembelihan qurban pada waktu penyembelihan qurban. Secara zhohir (tekstual), pendapat pertama ini melarang memotong rambut dan kuku bagi shohibul qurban berlaku sampai hewan qurbannya disembelih. Misal, hewan qurbannya akan disembelih pada hari tasyriq pertama (11 Dzulhijah), maka larangan tersebut berlaku sampai tanggal tersebut.
Pendapat pertama yang menyatakan haram mendasarinya pada hadits larangan shohibul qurban memotong rambut dan kuku yang telah disebutkan dalam fatwa Lajnah Ad-Daimah di atas.
[Pendapat Kedua]
Pendapat ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i dan murid-muridnya. Pendapat kedua ini menyatakan bahwa larangan tersebut adalah makruh yaitu makruh tanzih, dan bukan haram.
Pendapat kedua menyatakannya makruh dan bukan haram berdasarkan hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabishallallahu pernah berqurban dan beliau tidak melarang apa yang Allah halalkan hingga beliau menyembelih hadyu (qurbannya di Makkah). Artinya di sini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan sebagaimana orang yang ihrom yang tidak memotong rambut dan kukunya. Ini adalah anggapan dari pendapat kedua. Sehingga hadits di atas dipahami makruh.
[Pendapat Ketiga]
Yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menyatakan tidak makruh sama sekali.
Imam Malik dalam salah satu pendapat menyatakan bahwa larangan ini makruh. Pendapat beliau lainnya mengatakan bahwa hal ini diharamkan dalam qurban yang sifatnya sunnah dan bukan pada qurban yang wajib.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, berdasarkan larangan yang disebutkan dalam hadits di atas dan pendapat ini lebih hati-hati. Pendapat ketiga adalah pendapat yang sangat-sangat lemah karena bertentangan dengan hadits larangan. Sedangkan pendapat yang memakruhkan juga dinilai kurang tepat karena sebenarnya hadits ‘Aisyah hanya memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perkara yang sifatnya keseharian yaitu memakai pakaian berjahit dan memakai harum-haruman, yang seperti ini tidak dibolehkan untuk orang yang ihrom. Namun untuk memotong rambut adalah sesuatu yang jarang dilakukan (bukan kebiasaan keseharian) sehingga beliau masih tetap tidak memotong rambutnya ketika hendak berqurban.
Apa yang dimaksud rambut yang tidak boleh dipotong?
Yang dimaksud dengan larangan mencabut kuku dan rambut di sini menurut ulama Syafi’iyah adalah dengan cara memotong, memecahkan atau cara lainnya. Larangan di sini termasuk mencukur habis, memendekkannya, mencabutnya, membakarnya, atau memotongnya dengan bara api. Rambut yang dilrang dipotong tersebut termasuk bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, rambut kepala dan juga rambut yang ada di badan.
Hikmah Larangan
Menurut ulama Syafi’iyah, hikmah larangan di sini adalah agar rambut dan kuku tadi tetap ada hingga qurban disembelih, supaya makin banyak dari anggota tubuh ini terbebas dari api neraka.
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hikmah dari larangan ini adalah agar tasyabbuh (menyerupai) orang yang muhrim (berihrom). Namun hikmah yang satu ini dianggap kurang tepat menurut ulama Syafi’iyah karena orang yang berqurban beda dengan yang muhrim. Orang berqurban masih boleh mendekati istrinya dan masih diperbolehkan menggunakan harum-haruman, pakaian berjahit dan selain itu, berbeda halnya orang yang muhrim.
Apakah Qurban Tetap Sah Jika Shohibul Qurban Mencukur/Memotong Rambut dan Kuku?
Bagaimana jika ada yang sengaja melakukannya? Apakah qurban (udhiyah) yang dilakukan tetap sah?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan,
نعم ، تكون مقبولة لكنه يكون عاصياً ، وأما ما اشتهر عند العوام أنه إذا أخذ الإنسان من شعره أو ظفره أو بشرته في أيام العشر فإنه لا أضحية له فهذا ليس بصحيح ، لأنه لا علاقة بين صحة الأضحية والأخذ من هذه الثلاثة
Na’am, qurban yang dilakukan tetap diterima (sah) namun yang melanggar terkena dosa. Sedangkan persepsi orang awam yang menganggap qurbannya jadi tidak sah jika ada yang mencukur rambut kepala, memotong kuku atau mencabut bulu badannya pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, maka ini adalah anggapan yang tidak benar. Karena sebenarnya tidak ada kaitan antara sahnya qurban dengan mencabut ketiga hal tadi.” (Syarhul Mumthi’, 7: 533)
Wallahu a’lam

BIRRUL WALIDAIN



 
1.      Istilah Birrul Walidain berasal langsung dari nabi ketika ditanya oleh Abdullah Bin Mas`ud tentang amalan yang paling disukai oleh Allah SWT
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ العَمَلِ اَحَبُّ اِلَى اللهِ تَعَالَى ؟ قَالَ : الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قُلْتُ ،ثُمَّ اَيٌّ : قَالَ : بِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ : اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ (متفق عليه)
2.     Arti Birrul Walidain adalah berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Al-Qur`an menggunakan istilah IHSAN (QS. AL-ISRA : 23)

3.      Kedudukan Birrul Walidain
Birrul Walidain menempati kedudukan yang istimewa oleh ajaran Islam, mengapa?
a.      Perintah Ihsan kepada orang tua diletakkan sesudah perintah beribadah kepada-Nya
b.      Allah mewasiatkan kepada manusia untuk berbuat ihsan kepada orang tua
c.       Allah meletakkan perintah berterima kasih kepada orang tua langsung sesudah perintah berterima kasih kepada Allah SWT
d.      Rasulullah saw meletakkan Birrul Walidain sebagai amalan nomor dua terbaik sesudah shalat tepat waktu (HR. Mutafaqun Alaih)
e.      Rasulullah mengaitkan keridhaan dan  

4.      Bentuk-bentuk Birrul Walidaini
a.      Mengikuti keinginan dan saran orang tua dari segala aspek, selagi tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-sunah. (QS. 31 : 15 ; HR.Muslim)
b.      Menghormati  dan memuliakan orang tua dengan penuh rasa terima kasih dan kasih sayang atas segala jasanya yang tidak mungkin bisa dinilai dengan apa pun. (QS. 31 : 14 ; QS. 17 : 23)
c.       Membantu orang tua secara fisik atau pun materi (HR. Muslim; HR. Buchori dan Muslim
d.      Mendoakan orang tua, agar mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah SWT (QS. 17 : 24)
e.      Setelah orang tua meninggal, pelaksanaan Birrul Walidain dengan cara (HR. Abu Dawud).
-          Mengurusi jenazahnya dengan sebaik-baiknya.
-          Melunasi hutang-hutangnya
-          Melaksanakan wasiat
-          Meneruskan silahturahmi yang dibinanya semasa hidup
-          Memuliakan sahabat-sahabatnya
-          Mendoakannya

5.      ANCAMAN terhadap orang yang durhaka kepada orang tua.
Durhaka kepada orang tua merupakan dosa besar kedua sesudah syirik (HR. Bukhori). Dan azabnya disegerakan oleh Allah di dunia ini (HR.Hakim)




CONTOH SOAL BAHASA ARAB IDHAFAH DAN MUBTADA KHOBAR

1. Analisalah kalimat di bawah ini dan identifikasikan mana mudhaf dan mana mudhaf ilaihnya ! مُضَافٌ إِلَيْهِ ...